Nama Sribuza kerap muncul dalam manuskrip Arab abad pertengahan sebagai kerajaan maritim besar di timur yang makmur dan menjadi poros perdagangan rempah dunia. Para sejarawan lama mengidentifikasi Sribuza dengan Sriwijaya, kerajaan besar yang berpusat di Palembang, Sumatra Selatan. Dalam sumber-sumber seperti karya Ibn Khurdadhbih dan Al-Mas’udi, Sribuza atau Zabaj digambarkan sebagai negeri yang menguasai banyak pulau dan kaya akan komoditas langka seperti kamper, gading, kayu cendana, dan rempah-rempah yang dikirim ke Oman dan kawasan Arab.
Namun dalam perkembangan riset modern, muncul interpretasi alternatif bahwa istilah Sribuza dalam beberapa sumber Arab bisa jadi tidak merujuk tunggal pada pusat Sriwijaya di Sumatra. Sejumlah peneliti mengajukan teori bahwa Sribuza juga bisa menunjuk pada wilayah lain yang termasuk dalam jejaring kekuasaan Sriwijaya, seperti wilayah barat laut Kalimantan yang dahulu dikenal sebagai Vijayapura. Wilayah ini kelak berkembang menjadi Brunei Darussalam, dan dalam fase awalnya disebut-sebut sebagai negara bawahan Sriwijaya yang ikut menikmati kejayaan jalur dagang internasional.
Vijayapura disebut dalam teks-teks sejarah sebagai vassal atau negara bawahan dari Sriwijaya, yang menjadi bagian penting dari jalur dagang Austronesia. Dalam beberapa sumber, Vijayapura digambarkan sebagai wilayah yang dulunya merupakan bagian dari sisa-sisa peradaban Funan, kerajaan kuno multi-etnis yang pernah berjaya di wilayah yang kini menjadi Kamboja. Dari sinilah teori bahwa Brunei kuno adalah pewaris peradaban Funan kemudian berkembang.
Keterlibatan wilayah Borneo dalam jaringan perdagangan regional tidak bisa dipisahkan dari fenomena Jalur Giok Maritim atau Maritime Jade Road yang berlangsung antara tahun 2000 SM hingga 1000 M. Jaringan ini menghubungkan Taiwan, Filipina, Vietnam, Kalimantan, dan wilayah lainnya dalam aktivitas perdagangan giok dan bahan mineral lainnya. Brunei, atau Vijayapura, kemungkinan besar terlibat dalam jaringan ini jauh sebelum Sriwijaya berkembang sebagai kerajaan maritim utama.
Dalam konteks perluasan kekuasaan Sriwijaya, maka masuk akal jika kerajaan ini mengembangkan pengaruh hingga ke Kalimantan bagian utara. Sebagai kerajaan berbasis pelayaran dan perdagangan, kontrol atas pelabuhan dan jalur dagang menjadi kunci. Oleh karena itu, pelabuhan-pelabuhan strategis di pesisir barat dan utara Kalimantan seperti Vijayapura sangat mungkin menjadi bagian dari sistem kekuasaan Sriwijaya, langsung maupun tidak langsung.
Sumber-sumber Arab seperti Al-Mas’udi mencatat Sribuza sebagai negeri yang luar biasa subur dan padat penduduk, tempat berbagai komoditas dagang dari seluruh penjuru Nusantara dikumpulkan sebelum dikirim ke pelabuhan-pelabuhan Arab. Dari deskripsi ini, beberapa peneliti berspekulasi bahwa Sribuza mungkin adalah istilah kolektif yang digunakan para pedagang asing untuk menyebut keseluruhan wilayah di bawah kekuasaan Sriwijaya, bukan hanya ibu kotanya.
Di sisi lain, nama Sribuza sendiri kemungkinan besar merupakan transliterasi dari kata "Sriwijaya", namun lidah Arab dan Persia mengadaptasinya ke dalam bentuk yang lebih mudah dilafalkan. Hal serupa juga terjadi pada nama-nama lain seperti Zabaj (untuk Sriwijaya atau Jawa), Kalah (untuk Kedah), dan Ramni (untuk Sumatra). Ini menandakan bahwa identifikasi wilayah dalam manuskrip klasik sangat tergantung pada pemahaman dan pengalaman para penulis asing terhadap dunia timur.
Penafsiran bahwa Sribuza juga dapat merujuk pada Brunei kuno bukan berarti meniadakan Sriwijaya dari Sumatra sebagai pusat kekuasaan utama. Justru hal ini memperkuat narasi bahwa kekuasaan Sriwijaya sangat luas dan fleksibel dalam membangun struktur politik dan ekonomi, termasuk melalui jaringan aliansi dan pengaruh budaya. Brunei kuno mungkin adalah salah satu simpul dari jaringan kekuasaan ini yang kemudian diabadikan dalam sumber-sumber asing.
Bukti keterlibatan Brunei dalam jaringan perdagangan kuno dan relasi dengan Sriwijaya juga ditemukan dalam jejak bahasa, arkeologi, dan legenda setempat. Beberapa narasi lokal di Brunei menyebut adanya hubungan leluhur dengan kerajaan-kerajaan besar di Sumatra, dan penemuan artefak yang memiliki kesamaan dengan gaya Sriwijaya semakin memperkuat asumsi ini. Meski belum sepenuhnya konklusif, bukti-bukti ini membuka ruang baru dalam penulisan sejarah maritim Asia Tenggara.
Dalam beberapa pandangan, Sribuza bisa dianggap sebagai konsep politik dan ekonomi yang lebih luas daripada sekadar nama kerajaan. Seperti halnya Romawi dalam sejarah Barat, yang bukan hanya merujuk pada kota Roma, tetapi juga pada seluruh entitas kekaisaran yang dikendalikan dari pusatnya. Demikian pula Sribuza, bisa merujuk pada sistem kekuasaan yang berpusat di Sriwijaya tetapi beranak cabang ke berbagai wilayah pesisir Nusantara.
Konsep ini juga menjelaskan mengapa Sribuza kerap disebut sebagai penguasa banyak pulau, termasuk Rami (Sumatra), Kalah (Kedah), dan pulau-pulau lainnya. Dengan kata lain, Sribuza adalah representasi politik dari hegemoni Sriwijaya di mata para penulis Arab dan bukan hanya nama geografis semata. Ini mendekatkan kita pada pemahaman bahwa sejarah maritim Asia Tenggara sangatlah dinamis dan kompleks.
Teori bahwa Sribuza adalah Brunei sepenuhnya tentu perlu diuji dengan pendekatan multidisipliner. Namun, jika istilah Sribuza digunakan secara luas oleh para penulis Arab untuk menggambarkan wilayah-wilayah kekuasaan Sriwijaya, maka Brunei, sebagai salah satu simpulnya, sangat mungkin termasuk dalam cakupan tersebut. Dengan demikian, bukan Sribuza yang menjadi Brunei, melainkan Brunei adalah bagian dari Sribuza sebagai entitas kekuasaan.
Dalam konteks ini, kita tidak lagi melihat Brunei dan Sriwijaya sebagai dua entitas yang saling bersaing, tetapi sebagai bagian dari satu sistem maritim yang saling melengkapi. Ini memperlihatkan bahwa kekuasaan tidak selalu berpusat pada satu titik, melainkan bisa menyebar dalam bentuk pengaruh ekonomi dan budaya. Jaringan maritim seperti ini menjadi karakteristik utama dari kekaisaran Asia Tenggara sebelum datangnya kekuatan kolonial Eropa.
Kemunculan kembali teori Sribuza sebagai Brunei juga menantang paradigma sejarah lama yang terlalu berfokus pada daratan. Penekanan terhadap pusat kekuasaan darat mengabaikan kenyataan bahwa masyarakat Nusantara, sejak ribuan tahun lalu, lebih akrab dengan laut sebagai ruang hidup dan arena kekuasaan. Dalam konteks ini, baik Sriwijaya maupun Brunei merupakan wajah berbeda dari satu identitas maritim yang sama.
Kekayaan sumber daya, kemampuan navigasi, dan letak geografis strategis menjadi modal utama bagi kerajaan-kerajaan seperti Sriwijaya dan Brunei untuk memainkan peran penting dalam sejarah Asia Tenggara. Kedua entitas ini mengembangkan diplomasi, perdagangan, dan kekuasaan secara fleksibel, menjangkau wilayah luas tanpa perlu ekspansi militer besar-besaran seperti kekaisaran daratan.
Sementara itu, sumber-sumber Arab memberikan pandangan luar terhadap dunia timur yang kaya dan eksotik. Sebutan seperti Sribuza, Zabaj, atau Rami mungkin tampak membingungkan, tetapi justru menunjukkan bagaimana dunia luar mengagumi kekuatan dan kemakmuran kerajaan-kerajaan maritim Nusantara. Nama-nama ini menjadi penanda kekuasaan yang diingat dalam catatan sejarah global.
Menelusuri nama Sribuza membawa kita pada pemahaman baru bahwa sejarah Asia Tenggara bukan hanya soal batas teritorial, tetapi tentang jaringan, pengaruh, dan relasi lintas laut. Sriwijaya, dalam arti luas, adalah kerajaan yang membentuk budaya maritim kawasan dan menancapkan pengaruhnya jauh ke utara hingga Kalimantan. Sribuza bukan sekadar nama tua, melainkan simbol dari kejayaan maritim yang menyatukan Sumatra dan Borneo dalam sejarah yang sama.
Dengan demikian, Sribuza tetap layak dikenang bukan hanya sebagai Sriwijaya dalam arti sempit, melainkan sebagai representasi dari dunia Melayu maritim yang menjadi penghubung perdagangan, agama, dan kebudayaan Asia selama berabad-abad. Dan di antara simpul-simpul sejarah itu, Brunei atau Vijayapura menegaskan bahwa warisan Sriwijaya jauh lebih luas dari yang selama ini dibayangkan.
0 Komentar