Redenominasi Bertahap, Langkah Bijak Reformasi Rupiah

Wacana redenominasi rupiah kembali mencuat sebagai bagian dari upaya jangka panjang reformasi moneter nasional. Banyak ekonom berpendapat bahwa perubahan nilai nominal mata uang Indonesia dapat memberikan banyak manfaat strategis, asalkan dilaksanakan secara bertahap dan terukur. Pendekatan gradual atau bertahap ini telah terbukti sukses di sejumlah negara dan kini menjadi rujukan utama jika Indonesia ingin menyederhanakan sistem mata uangnya tanpa memicu kepanikan publik.

Redenominasi bertahap berarti pemerintah mencetak uang baru dengan nilai nominal lebih kecil namun dengan nilai tukar yang sama seperti uang lama. Misalnya, Rp50.000 yang lama akan digantikan oleh Rp5 dalam mata uang baru, tanpa kehilangan daya beli. Kedua jenis uang ini akan beredar bersamaan selama beberapa tahun masa transisi. Dengan mencantumkan dua harga dalam setiap transaksi—contohnya Rp20.000 (lama) atau Rp2 (baru)—masyarakat diajak untuk perlahan-lahan beradaptasi, bukan dipaksa secara mendadak.

Model ini bukan hal baru. Turki melaksanakannya pada tahun 2005 dengan menghapus enam nol dari lira dan menjalankan sistem paralel selama setahun. Begitu pula dengan Rumania yang menyederhanakan leu mereka dan berhasil menjaga kestabilan selama proses transisi. Iran, dalam kondisi ekonomi yang sangat menekan akibat sanksi dan inflasi tinggi, juga memilih jalan redenominasi bertahap ketika menggantikan rial dengan toman. Pemerintah Iran menyusun masa transisi hingga dua tahun, agar masyarakat tetap tenang dan bisnis bisa menyesuaikan diri secara perlahan.

Dalam konteks Timur Tengah, Suriah dan Irak juga bisa mempertimbangkan langkah serupa. Kedua negara mengalami trauma ekonomi panjang akibat perang dan isolasi internasional. Nilai tukar mata uang mereka sangat fluktuatif dan telah kehilangan kredibilitas di mata warganya sendiri. Jika stabilitas politik mulai membaik dan hubungan internasional membaik, maka redenominasi bertahap dapat menjadi instrumen penting dalam memulihkan kepercayaan publik terhadap mata uang nasional.

Suriah, pasca-runtuhnya sanksi ekonomi dan rezim lama, kini dihadapkan pada tantangan besar untuk memulihkan sistem keuangannya. Sebagian besar transaksi dilakukan dengan dolar atau lira Lebanon, sementara mata uang nasional terdepresiasi tajam. Dengan kembalinya sebagian aset nasional yang sebelumnya dibekukan, seperti simpanan di bank-bank Lebanon, Suriah memiliki peluang strategis untuk mereformasi sistem moneter dengan memperkenalkan mata uang baru secara bertahap.

Irak, meskipun telah mengalami stabilisasi politik sejak jatuhnya Saddam Hussein, juga menghadapi masalah kepercayaan terhadap dinar Irak. Negara ini selama bertahun-tahun tergantung pada dolar AS untuk transaksi besar dan penyimpanan kekayaan. Jika pemerintah Irak serius mendorong kemandirian finansial, redenominasi bertahap dengan edukasi publik dan pengawasan ketat dapat menjadi solusi jangka panjang.

Indonesia, meskipun tidak mengalami trauma konflik seperti Suriah atau Irak, tetap menghadapi tantangan administratif dan citra rupiah yang sering dikaitkan dengan angka nol terlalu banyak. Mata uang dengan nominal besar sering kali disalahpahami sebagai tanda ekonomi lemah atau inflasi tinggi, padahal tidak selalu demikian. Menyederhanakan angka nominal akan mempermudah pencatatan keuangan, sistem kasir, transaksi digital, dan persepsi internasional.

Namun, redenominasi bukan tanpa risiko. Jika dilakukan terburu-buru atau tanpa sosialisasi yang tepat, masyarakat bisa mengira bahwa ini adalah pemotongan nilai uang seperti pada era sanering 1965. Oleh karena itu, skema bertahap dengan dua sistem yang berjalan bersamaan memberi waktu untuk membangun pemahaman dan kepercayaan. Pemerintah bisa mengawali dengan pencetakan uang baru secara terbatas dan menyasar sektor tertentu seperti BUMN, institusi pendidikan, dan kota-kota besar.

Pelabelan harga ganda menjadi alat penting dalam masa transisi. Toko-toko, supermarket, SPBU, dan layanan publik perlu mencantumkan dua harga secara konsisten agar masyarakat terbiasa menghitung ulang dan menyesuaikan ekspektasi harga. Pemerintah juga perlu membentuk satuan tugas khusus untuk mengawasi agar tidak ada pihak yang memanfaatkan transisi untuk menaikkan harga secara tidak sah.

Pelaksanaan redenominasi bertahap juga memungkinkan sektor usaha kecil dan menengah menyesuaikan diri secara alami. Perangkat lunak akuntansi, sistem kasir digital, dan aplikasi pembayaran digital bisa diperbarui secara bertahap pula. Hal ini jauh lebih realistis dibandingkan jika seluruh sistem dipaksa beradaptasi sekaligus dalam waktu singkat.

Jika dilakukan secara benar, redenominasi dapat memperkuat simbol nasionalisme ekonomi. Masyarakat akan lebih bangga terhadap mata uangnya yang rapi, efisien, dan mudah diperhitungkan. Di kancah internasional, mata uang Indonesia akan tampak lebih seimbang dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand, yang memiliki nilai tukar yang lebih kecil secara nominal.

Bank Indonesia sebenarnya telah menyiapkan konsep redenominasi sejak lebih dari satu dekade lalu. Namun, tantangan politik dan kondisi ekonomi global belum memungkinkan pelaksanaannya. Kini, dengan inflasi yang cukup terkendali dan sistem digital yang semakin matang, momen untuk melangkah menuju reformasi moneter bisa kembali dibuka.

Langkah ini bisa dimulai dengan menetapkan peta jalan resmi oleh pemerintah dan Bank Indonesia, menetapkan jangka waktu 5–7 tahun untuk transisi penuh. Dalam proses itu, komunikasi publik harus dijadikan prioritas utama. Edukasi bisa dimasukkan ke kurikulum sekolah, iklan layanan masyarakat, dan berbagai media sosial untuk menjangkau generasi muda.

Sebagaimana Turki, Iran, dan kemungkinan masa depan Suriah serta Irak, Indonesia bisa menunjukkan bahwa redenominasi bukanlah sesuatu yang menakutkan, melainkan langkah rasional untuk memperkuat sistem ekonomi. Dengan kehati-hatian, transparansi, dan komitmen politik yang kuat, redenominasi rupiah secara bertahap justru dapat menjadi simbol kestabilan dan optimisme nasional menuju masa depan yang lebih modern dan efisien.

0 Komentar